![]() |
gambar diambil dari inshaallaah.wordpress.com |
Lihat? Aku ingat benar kan? Bahkan urutannya aku tidak lupa,
dari alasan satu sampai empat.
Dan saat ini, di luar sana sedang hujan. Aku melihat seorang
gadis lari menerobos hujan dengan langkah riang. Aku jadi teringat kamu, lagi.
Keriangannya, cara dia berjalan, semuanya. Kecuali, dia bukan kamu. Hei,
jangan-jangan dia juga seperti kamu? Terlihat riang menerobos hujan, padahal
dia sedang menangis. Tapi air matanya langsung dihajar hujan sehingga tidak
kelihatan. Iyakah?
Kamu meneleponku ketika itu. Lelaki itu, iya, lelaki
brengsek itu melukaimu lagi. Memang, kalian bukan pasangan, dan hanya berteman.
Masalahnya adalah, aku dan kamu sama-sama tahu kalau kamu mencintainya, sangat.
Sampai aku sering ikut merasakan sakit di dadamu sangat menyengat.
Kamu sering bercerita tentangnya. Sudah berteman berapa
lama? Dua atau tiga tahun kalau tidak salah. Pergi ke mana-mana berdua, tertawa,
bercanda, semuanya. Sampai tanpa disadari, di hatimu tumbuh cinta. Tapi apa
dia, lelaki itu mengetahuinya? Katamu sepertinya tidak. Ah, mana mungkin?
Setiap orang yang dicintai pasti tahu kalau seseorang itu mencintainya. Kamu
juga pasti tahu ketika seseorang mencintaimu, bukan?
Dengar ya, dia pasti tahu bahwa kamu mencintainya. Tidak mungkin
tidak. Dan ketika kamu bercerita bahwa dia kemudian berhubunan dengan orang
lain, oh, aku tahu kamu luka. Sangat tahu. Itu pertama kalinya kamu main
hujan-hujanan. Dan ketika aku tanya kenapa berhujan-hujan? Kamu hanya menjawab,
aku suka hujan.
Aku diam. Matamu merah. Ah, kamu hanya menyembunyikan
tangis. Aku tahu. Menangislah. Sekencang-kencangnya, sepuas-puasnya. Aku akan
di sini menungguimu, ikut bermain hujan denganmu. Asal saja kamu tahu, kamu
akan baik-baik saja di sini, bersamaku.
Aku melihatmu tertawa, menengadahkan kedua tanganmu menadah
air hujan, lalu membuangnya ke atas secara berulang. Aku melihatmu masih
tertawa, mempermainkan genangan air hujan dengan kakimu, menendang-nendangnya
sehingga bercipratan ke mana-mana. Kamu mengajakku ikut bermain di genangan
itu. Aku melihatmu tetap tertawa, memutar tubuhmu dengan kedua tangan membuka
dan wajah ke atas, menerima setiap tetesan serbuan hujan. Tapi ada yang tidak
kamu tahu, bahwa aku tahu ketika dadamu terguncang menahan senggukan tangisan.
Aku juga tahu matamu yang sangat memerah. Dan meski dihapus hujan, aku melihat
air matamu. Kentara sekali.
Lalu kamu duduk, aku duduk. Kamu menyandarkan kepalamu di
bahuku. Hujan mulai reda. Kamu memalingkan muka, mungkin mencoba menutupi mata
merahmu. Terlambat, aku sudah tahu dari tadi. Tidakkah kau tahu aku juga merasa
nyeri?
Di lain waktu, kamu meneleponku lagi, mengajakku ke sebuah
taman. Begitu sampai, kamu juga bermain hujan. Ada apa lagi ini? Bukankah dia,
lelakimu itu sudah tidak bersama gadis itu sebulan lalu? Hanya bertahan enam bulan hubungan mereka.
Aku keluar menerobos hujan. Ikut basah bersamamu.
Lagi, kamu tertawa. Kelihatan riang bermain hujan. Orang
yang tidak tahu, akan mengira kamu sedang bahagia. Masalahnya, aku tahu.
Aku menyebut nama lelaki itu setengah berteriak dan bertanya
di mana dia, kamu menjawab dengan tertawa dan menengadahkan kepala menerima
terpaan hujan, “Dengan kekasih barunya.”
Jangan begitu. Jangan terus-terusan mencoba menipuku dengan tawamu dan bermain hujan. Aku tahu kesedihanmu, aku tahu.
Jangan begitu. Jangan terus-terusan mencoba menipuku dengan tawamu dan bermain hujan. Aku tahu kesedihanmu, aku tahu.
Aku menemanimu sekitar satu jam kalau tidak salah. Kedinginan.
Besoknya aku pasti meriang, seperti ketika pertama kali kamu mengajakku bermain
hujan. Seperti juga ketika aku menemanimu semalaman hanya untuk bercerita. Kamu
ingat, seringkali kamu mengajakku begadang ketika kamu sedang entah bahagia
atau luka. Kamu akan mengajakku bercerita. Setelah itu aku akan meriang keesokan
harinya.
Apalagi ketika kamu sakit typhus dan harus menginap di rumah
sakit selama tiga malam. Aku nyaris tidak tidur ketika itu. Keluargamu yang
jauh di Kalimantan, kesulitan untuk datang, jadi aku yang menjagamu.
Menyediakan semua yang kamu inginkan. Begitu hari kamu sudah boleh pulang, kamu
dijemput lelaki itu. Dan aku pulang naik taksi, sendirian.
Banyak peristiwa setelah kamu bermain hujan yang kedua
kalinya itu. Kebanyakan, aku menemanimu sampai tengah malam untuk bercerita,
atau membelikanmu Chitato, Cokelat, atau Cappuccino kesukaanmu. Kadang, kamu memintanya
tengah malam. Selelah apa pun, aku akan membelikan dan mengantarnya ke kos
kamu.
Ah, aku ingin tahu kenapa aku berada di sini, mengenalmu,
dekat denganmu. Apa ini takdir atau hanya sebuah keadaan acak yang kebetulan
menimpaku. Yang jelas, dua minggu lalu, aku menerima undangan pernikahanmu.
Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Tiga bulan, ya? Secepat itu? Nama lelaki di undangan itu, nama lelakimu yang dulu selalu kamu ceritakan itu. Kamu dan dia? Kamu pasti sedang bercanda, kan? Iya, kan? Aku mengusap undangan itu berulang, nama yang tertera tetap sama.
Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Tiga bulan, ya? Secepat itu? Nama lelaki di undangan itu, nama lelakimu yang dulu selalu kamu ceritakan itu. Kamu dan dia? Kamu pasti sedang bercanda, kan? Iya, kan? Aku mengusap undangan itu berulang, nama yang tertera tetap sama.
Dan sekarang, hujan deras ini membawa ingatanku tentangmu.
Besok adalah hari pernikahanmu. Aku kebingungan mau datang dengan pakaian apa.
Ah, atau aku tidak usah datang saja? Tapi aku rindu. Aku ingin melihatmu.
Kamu lihat tetes hujan deras di luar itu?Sebanyak itu pula rinduku padamu.
Oya, waktu aku bilang tadi kalau seseorang pasti tahu ketika
dia dicintai. Kamu juga pasti tahu kan kalau kamu dicintai? Olehku?
Hujannya bertambah deras. Aku menghentikan bis entah di
daerah mana. Turun dan bermain hujan sambil tertawa. Aku melakukan sesuatu
persis seperti yang kamu lakukan ketika hujan dan kesedihan datang bersamaan.
Bermain hujan.
Orang-orang pasti melihatku seperti sedang bahagia bermain
hujan. Mereka tidak tahu, sama sekali tidak tahu. Yang tahu hanya aku. Eh,
kalau kamu melihatku, kamu juga pasti tahu apa yang kusembunyikan melalui
tetesan hujan di mata dan pipiku. Bukankah begitu?
20 komentar:
nice post, jadi inget adegan pelem2 korea (india sudah gak musim) hehehe
hehehe. aku mengimajinasikan juga seperti itu. korean film.
^^
Posting blognya juga bagus.
Aku seperti Tayak. Ngeyel kalau ingin sesuatu. ^^
untunglah ini cuma fiksi. Sedih sekali rasanya kalo di posisi yg seperti itu.
Manis sekali. Suka!
bagus banget! somehow seperti twist dari ceritaku. :)
*mewek*
@minky: Semoga kita tidak pernah mengalaminya. :) amin
@Benji: tulisan-tulisan Benji juga keren. ^^
@wordshaker: :) oya? pasti bagus juga. Mau baca ah.
@Dhika: lho? mewek lagi. :)
kak..tabah sekalii ya dirimu..hiks~~
@Digi: eh? hihihih. fiksi kok dek. ^^ Everything is unreal, kecuali mungkin yang berjudul "Fey". Fiksi juga, tapi agak benar-benar dari hati karena pernah mengalaminya. :D
akakakkaka..... seru,seru!
^^
jadi meleleh bacanya heheheh but nice bgt ceritanya,.,,, gan blog u udah gw follow ya...^^
:) thanks mampirnya bro.
Siiip aku ke lokasi.
deras hujan yang turun mengingatkanku pada dirimu~ *theme song*
huaaaah main ke blog ini, walau ga update tapi lumayan bikin melting huaaah *terharu*
ada berbagai macam hujan di sini , dari yg cuma seperti garis garis sampai yang seperti jutaan kapas turun dari langit :)
Kalau rindumu sebanyak hujan...maka rindu nya mungkin sebanyak udara karena dia lebih memilih cinta yg lain
Weiii, baru 'ngeh' kalau 'rumah'nya udah pindah dot com...congrats ya. Capuccino'nya mana neh buat ngrayain pindahan rumahnya?
biasanya kamu menemani dia bermain sekaligus menyembunyikan perasaan dalam hujan, kali ini kamu berlari di lebatnya hujan sendiri... entah bahu siapa yang akan kau sandar saat hujan reda nantinya
sediiihhh :((
bersamaan rinai hujan, sebanyak itu pula, doa-doa naik kepada-NYA ..
saya ingin seperti kamu, berhujan-hujanan, tapi ndak jadi, deraan sinus, terkadang lebih sakit dibanding malarindu :D
saya juga suka hujan.. alasannya logis, seperti yang kamu poskan pada blogmu.. :)
blognyahrinz.blogspot.com
Posting Komentar