![]() |
gambar diambil dari kiyfhns.wordpress.com |
Kamu hanya tersenyum. Berjalan melangkah ke arahku, dan
menyandarkan kepalamu ke bahuku.
Kamu tahu? Aku selalu suka momen-momen seperti ini. Kamu
bersandar di bahuku. Siapa tahu, kamu bisa mendengar suara di dalam jantungku
yang terus menyebut namamu. Ah, aku bercanda. Tapi kamu bisa mendengar degubnya,
bukan? Meski bersandarnya tidak tepat di dadaku. Well,
sebenarnya, setiap degubnya selalu bersamaan dengan menyebut namamu di hatiku.
Pernah suatu ketika aku mengatakannya kepadamu, tentang bagaimana setiap degub jantungku menyebut namamu. Dan kamu
hanya tersenyum malu.
“Dasar tukang rayu,” katamu. Untuk kali ini, kamu salah. Aku
tidak sedang merayu. Aku menceritakan yang sebenarnya. Biarlah kamu beranggapan bahwa aku memang tukang rayu. Bagiku,
senyummu yang malu-malu itu, lebih berarti dari sebutan apa pun yang ditujukan
kepadaku.
“Kamu mau bercerita tentang apa?” katamu setelah menyadarkan kepalamu. Sepertinya kamu memang hapal sekali dengan kebiasaanku. Jika
aku memanggilmu kemari, pasti ada yang aku ceritakan.
“Tentang kehilangan,” kataku.
Keningmu berkerut. Nyaris saja kamu berdiri dari sandaranmu.
Cepat aku menyambar, “Tidak apa, dengarkan dulu.”
Kamu tersenyum, aku tersenyum.
“Dulu …, dulu sekali. Aku pernah mencintai. Sangat. Sampai
ingatanku tentang dia begitu lekat. Aku menulis, selalu tentangnya. Melihat apa
pun selalu teringat dia. Dia membuatku nyaman dan tenang. Aku belum pernah
merasakan seperti itu sebelumnya.”
Kamu cemberut, “Sepertinya aku tahu siapa dia.”
Aku tersenyum, “Iya, tepat. Dia orangnya. Tidak perlu aku menyebut sebuah nama, bukan? Aku lanjutkan
ceritaku dulu, ya?”
Kamu mengangguk. Masih cemberut.
“Iya, benar. Tepat seperti dugaanmu, orangnya adalah dia.
Cantik, iya. Putih, iya. Pintar, iya. Singkatnya, dia hampir memenuhi semua kriteria
gadis idamanku.”
Kamu terbangun. Menunduk. Masih dengan muka cemberut.
Aku tersenyum.
“Dan aku kehilangannya ketika itu. Sempat jatuh. Dadaku ngilu.
Aku dibakar cemburu ketika dia pergi bersama lelaki itu. Entah kenapa, bahkan film paling lucu menurut teman-temanku pun tidak ada yang bisa membuatku tertawa ketika itu. Yang jelas, saat itu aku merasa duniaku benar-benar kelabu.”
Kamu masih cemberut.
“Lalu datang kamu. Masih ingat kata-katamu waktu itu?”
Luka hari ini, bisa jadi senyum esok hari. Tidak ada yang tahu.
Katamu, kamu mengambilnya dari SHINE ON quote. Ringan,
singkat, tapi mengena.
“Sampai sekarang aku masih mengingatnya. Aku pasang dalam-dalam
di kepala. Kapan pun aku merasa sedih, luka ataupun jatuh, aku akan mengucapnya
seperti mantra. Kamu tahu kenapa? Karena sekarang aku tahu artinya."
“Iya, dulu aku luka. Aku mengakuinya. Terlalu sombong jika
aku tidak mengakuinya. Tapi lalu aku menyadari sesuatu. Kehilangan tidak harus berarti sebenarnya kehilangan.
Ketika seseorang melepaskan, dia malah justru mendapatkan.”
“Dan di sini aku, mendapatkanmu. Kamu, sekarang menjadi doa
dalam setiap tidur dan jaga. Sudah kuceritakan bukan, bagaimana setiap degub
jantungku menyebut namamu? Aku tidak ingin berlebihan, tapi memang kenyataannya
seperti itu. Dan di sini, di dadaku, aku selalu berkata kepada Tuhan untuk selalu menjagamu, menjadi bagian dari kebahagiaanmu.”
Kamu mulai tidak cemberut lagi.
“Apalagi ketika dalam setiap selamat pagiku, ada kamu dan
secangkir kopi di sampingku. Itu. Itu yang membuatku selalu jatuh cinta
kepadamu setiap pagi. Lagi, lagi dan lagi.”
“Oh tentu saja aku akui, dulu aku mencintaimu kecil. Tapi entah
kenapa, kamu dan aku bisa menumbuhkannya setiap hari. Sampai kehilanganku yang
dulu tidak ada lagi. Kehilangan? Ah tidak juga. Bagaimana kalau kita hapus saja
kalimat itu? Bagaimanapun juga, kenyataannya aku tidak pernah kehilangan. Aku
malah mendapatkan. Lihat? Ada kamu bukan? Yang senyummu, lebih berarti dari waktu.”
“Satu lagi yang selalu aku ingat darimu. Lagi-lagi kamu
ambil dari SHINE ON quotes. Dan aku menyimpannya sampai kini. Masih, di dalam
kepala. Oh, tidak juga ternyata. Aku menyimpannya dalam kepala, hati, dan
keseharianku.”
Yang memang milikmu, pasti akan menjadi milikmu.Yang memang bukan milikmu, tidak akan menjadi milikmu.Yang belum waktunya datang, juga tidak akan datang sekarang.
Bagian mana yang belum dimengerti?
Lihat? Sederhana sekali. Tapi mencakup rahasia kehidupan
bukan? Kadang, kita sama sekali tidak kehilangan. Perasaan kita saja yang merasa kehilangan. Padahal, bisa jadi sejak awal memang ditakdirkan bukan untuk kita. Bukankah seharusnya kita tidak kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah kita miliki? batinku.
“Oh ya, jangan lupa, kalau aku mencintaimu.”
Kamu mulai tersenyum. Menyandarkan kepalamu. Sekarang, di dadaku. Aku ingin mendengar degub jantungmu yang terus mendoakanku, katamu.
Sudahkah kamu melihat bagaimana kamu tersenyum dan membuatku
jatuh cinta setiap kali kamu melakukannya?
4 komentar:
suka benget...
bagus banget...
^_^ dibaca aja sudah seneng. apalagi ada yang suka cerpen ini.
Terimakasih Dian.
Tak ada yyg bisa mempercepat apa-apa yg ditetapkan untuk datang lebih lama. Juga tak akan ada yg bisa menghambat apa - apa yg akan dipercepat terjadinya:)
Posting Komentar