Kamu masih cantik seperti dulu. Lihat, bahkan cara kamu
berjalan dan tersenyum pun masih juga seperti dulu. Iya, yang dulu pernah
menjadi alasanku mencintaimu. Bedanya, tentu saja kamu terlihat lebih dewasa
sekarang. Tapi masih menarik, masih bisa membuat mataku sesekali
sembunyi-sembunyi melirik.
Kita bersalaman dengan canggung dan saling tersenyum, lalu duduk berhadapan.
"Sudah berapa lama kita tidak bertemu?" tanyamu.
Lalu diam. Untung saja aku diselamatkan oleh pramuniaga yang
membawakan menu. Hot Chocolate, pesananmu dari dulu tidak berubah, masih sama. Sedangkan aku memesan kopi hitam
dengan dua gula batu. Kamu tersenyum, melirikku sekilas, seolah mau mengatakan,
“Minuman kesukaanmu ternyata belum berubah.” Aku membalas senyumanmu.
Untuk satu detikan, mata kita saling beradu. Tapi aku kalah.
Menunduk dan kembali melihat menu. Jangan
terlalu sering memandangku seperti itu.
“Kamu tidak banyak berubah. Kecuali potongan rambutmu.” Kamu
setengah tertawa mengatakannya setelah pramuniaga tadi pergi. “Tapi dari dulu
memang rambutmu selalu berubah-ubah.” Kamu tersenyum, aku memaksakan diri
menatapmu dan ikut tertawa kecil.
Ah, kamu masih secantik dulu. Seperti ketika kita selalu
melewatkan waktu berbagi cerita di mana saja.
“Gak juga ah. Ini potongan rambut yang sama dari setahun lalu.” balasku sambil tersenyum lebar.
Melirikmu sekilas yang masih menatapku, tapi lalu aku mengalihkan pandanganku ke
beberapa poster-poster di dinding kafe itu. Walau sekilas, cukup untuk merekam
semua tentangmu. Rambutmu lebih panjang. Wajahmu masih bersih dan masih nyaris
tanpa make up. Itu juga yang aku sukai sejak dulu.
Aku merasa kamu menatapku lekat lalu menghela napas panjang.
Ada sesuatu di sana, entah apa. Aku sudah berulang kali mencoba membacanya,
tapi gagal. Seperti ada rahasia di balik napas panjangmu, bukankah semua orang seperti itu? Ketika menghela napas panjang, ada yang ingin disampaikan tapi tertahan?
Aku sibuk mencari bahan untuk berbicara lagi. Mungkin kamu
juga. Karena aku merasa jeda diam kita sudah terlalu lama.
“Ada urusan apa kamu ke sini?” Aku akhirnya
menemukan bahan pembicaraan denganmu. Tapi lalu menyesalinya. Pertanyaan bodoh.
Kamu sudah menjelaskan di SMS beberapa hari lalu.
Kamu tersenyum, dadaku ikut tersenyum. “Biasa. Liburan.
Mumpung ada cuti bersama.”
Kamu menjelaskannya tanpa ada penekanan pada suaramu. Aku
lega kamu memahami pertanyaan bodohku.
“Kamu apa kabar sekarang?” Kamu bertanya kembali. “You look skinny.”
Aku tertawa. “And you
look … ”
“What?! Fat!?”
Kamu menatap tajam ke arahku.
Aku tertawa lepas. Baiklah, sudah mencair suasananya. Aku
lega. Kamu cemberut melihat tawaku. Ah, cemberutmu pun masih secantik dulu.
“I’m not finish yet.” Tawaku
mulai mereda. “You’re never look too fat for me.” Kita
berdua diam setelah itu. Tapi lalu aku sadar dengan yang baru saja terjadi. Aku
mengucapkan sesuatu yang bodoh lagi! Apa barusan yang kuucapkan? Rayuan?
Aku melirikmu dan berdoa semoga kata-kataku tadi tidak merusak suasana.
Kamu tersenyum, tapi tidak ke arahku, melainkan ke pramuniaga yang datang
membawa pesanan kita. Tapi aku juga melihat pipi memerahmu. Iya, sejelas aku
melihat pramuniaga yang kamu lihat itu. Aku tersenyum. Merasa hangat di dadaku.
Lumayan ada waktu jeda untuk berpikir apa lagi yang harus
aku tanya. Aku mengaduk kopi, kamu mengaduk hot
chocolate-mu.
“Hei, kamu belum jawab pertanyaanku.” Kamu melirikku tajam.
Selalu seperti itu dari dulu. Itu cara bercandamu ketika mengingatkan sesuatu.
Dulu, biasanya aku akan mengacak-acak rambutmu setelah itu. Itu dulu.
“Aku baik. Selalu sebaik yang diinginkan dan dipikirkan. …”
“Ya, ya, ya aku tahu. Karena keadaan seseorang selalu sesuai
dengan yang diinginkan dan dipikirkan,” kamu menggerakkan tangan kananmu yang
masih menggenggam sendok ke kanan kiri sambil mencontohkan. Aku tertawa saja. “I know that, the philosopher man.” Kamu melirik
tajam sambil cemberut lagi. Dan aku tertawa lebih lebar lagi. The philosopher
man, dulu kamu sering menyebutku dengan itu.
“Kamu gak pernah bosan apa, berfilosofi mulu sejak dulu.”
Baiklah. Ini momen saat kamu akan meracau panjang lebar dan aku mendengarkan
dengan dada penuh kehangatan. Ya. Persis seperti dulu. “Enjoy your life!
Go out and have fun. Tertawa, bercanda, bla-bla-bla. Tidak bersama
dengan buku-bukumu yang tebalnya selalu lebih dari 200 halaman itu atau
berkutat dengan komputermu. …”
Aku masih mendengarkan. Aku masih tersenyum. Aku masih berusaha merekam momen ini, setiap detiknya saat kamu masih berbicara
panjang lebar. Syukurlah. Kali ini aku bisa memandangmu lebih lama. Teruslah
berbicara, biar aku mendengarnya, biar aku merekamnya.
“Hei!” Kamu melirikku tajam sambil tersenyum lagi. “Im
talking to you!”
Aku tertawa. “Iya. Aku dengarkan juga kok. To me,
everything I did is fun.”
“Dia pikir aku penyiar apa? Aku berbicara dan dia diam
mendengar… lalu menjawabnya selalu singkat!” Kamu mulai mengomel kecil sambil mengaduk
cangkirmu. Aku terbahak. Ah, kebiasaanmu masih banyak yang belum berubah.
Aku meminum kopiku pelan.
“Aku membaca novel terbarumu,” katamu. Masih sambil mengaduk
cangkir yang pasti sebenarnya gulanya juga sudah larut dari tadi.
“Dan?”
“Oh, GOD! Bisa tolong makhluk satu ini dibuat
ngomongnya jangan singkat-singkat?” katamu. Lalu mengangkat kedua
tanganmu seolah berdoa. Mulutmu komat-kamit. Aku tertawa. Lepas. Belum pernah
tawaku selepas ini lagi. Apakah barusan ada kata ‘lagi’?
“Hei! Ini abad dua satu tau! You have to change!”
katamu.
Aku menenangkan tawaku. Lalu diam, dan mengaduk kopiku.
Tentu saja alasannya sama seperti dia mengaduk cangkirnya, ini juga basa-basi. Mencari
kesibukan saja.
“Aku mengenali tokoh perempuan di novelmu itu,” katamu
kemudian sambil memegangi cangkirmu dengan dua tangan.
Aku berhenti mengaduk. Terkejut. Dia tahu.
“Rambut panjangnya, kulit putihnya, kelucuan dan
kekanakannya, kecerewetannya, semuanya.” Kamu tersenyum, lalu menatapku.
Aku berpura-pura mengaduk kopiku lagi. Seharusnya aku
menuruti kata hatiku dulu agar tidak semirip itu. Aku kira kamu tidak akan
mengetahuinya. Setahuku kamu tidak pernah suka fiksi. Aku memang selalu
mengirimimu bukuku dari yang pertama sampai yang keempat ini. Tapi setahuku
kamu tidak akan membacanya.
“Kalau kamu mengira aku tidak pernah membaca bukumu, kamu
salah.” Kamu mengatakannya tanpa beban seolah bisa membaca pikiranku. Aku masih
diam. Jangan sembarangan membaca pikiranku lagi.
“Setidak sukanya aku membaca fiksi, aku selalu membaca
karyamu. Dan kamu selalu memasukkan diri kamu sendiri dari buku pertama sampai keempat.
Entah menjadi figuran, atau sekadar, memasukkan sifatmu sebagai salah satu
tokohnya. Dan yang terakhir ini, kamu kentara sekali.”
Kamu masih memegangi cangkirmu dengan kedua tangan, aku
masih mengaduk pelan kopiku.
“Dira ini… tokoh nyata. Aku mengenalinya. Dan walaupun Raka,
ciri-cirinya tidak seperti kamu, tapi perasaan cintanya adalah kamu, kepadanya.
Kepada Ran. Kepada gadis itu.” Kamu tersenyum lalu menatapku. Seperti ingin
tahu benar seperti apa reaksiku.
Aku berhenti mengaduk , tersenyum lalu memandangmu. Kamu
tersenyum lucu, menggodaku.
“Dira adalah Ran. Ya kan?” kamu masih menggodaku.
.....
(Sampai di sini, sedang blank. Tapi alurnya sudah ada. Nanti mungkin dilanjutkan lagi. Tapi kalau ada yang mau menebak jalan ceritanya seperti apa, dengan senang hati saya akan mendengarkan.)
4 komentar:
ditunggu lanjutannya ka... ^_^
aaaaak penasaraaan.
mas Ara kan kalo bikin suka jarang ketebak :/
ayok lekas lanjutin maaas :D
@Utit: Iya dek. :)
@Septi: Itu karena seringnya di tengah nulis kepikiran beda. Jadi, malah saya sendiri gak tahu akhirnya gimana. Yang ini sih sudah, tapi gak tahu kalau nanti juga berubah pikiran. :) Semoga masih enak dibaca ya dek. :)
Apa ini..? Mas erik bkin penasaran aja..
T.T
Posting Komentar